Secangkir Kopi dan Bayanganmu

Sumber gbr: uglim.com

Hari ini adalah hari yang indah. Langit mulai berubah jingga, senja menghias indah, seindah hari-hariku bersama Indah Pramita Dewi. Seorang gadis manis yang baru ku nikahi beberapa bulan lalu. Dia adalah tetanggaku, tetangga dekatku.

“Yank, bikin kopi kayaknya enak nih? Hehe”

Seperti biasa, tiap senja sepulang kerja, aku memanja, merengek bahkan merayu istriku yang sedang menonton drama Korea. Jika sedang asyik-asyiknya menonton, biasanya aku harus berusaha ekstra dengan gombalan maut sambil sedikit menggelitikinya.

“Bentar Yank, nanggung nih… Masih tegang, mandi dulu donk, Yank” pandangannya beralih padaku sejenak.

“Ih, biasa… Alesan aja nih. Ya udah deh, Mas mandi dulu. Tapi abis mandi harus udah ada secangkir kopi nongkrong di meja lho ya? Sun dulu ah” aku bergegas menuju kamar mandi.

Tak lama setelah itu, secangkir kopi yang ku minta sudah terdiam manis siap disruput di meja tempat istriku menonton televisi.

“Naahh, ini baru istri Mas yg paling baik… Cubit dikit ah” godaku.

“Iih, nakaal… Balas cubit…”

Sambil mendekat, aku duduk bersanding, mencicipi kopi buatan istri, lalu kami berdua menonton film Korea. Inilah  waktu-waktu mesra kami, satu jam sebelum adzan maghrib.

“Eh, Mas… Gimana tadi di kantor? Pak Yadi jadi kan menggantikan Mas?” Indah memulai percakapan sambil mendekap, menyandarkan kepalanya di sisi pundakku.

“Jadi donk… Tapi ada yang lebih penting daripada Pak Yadi, Yank” pasang wajah serius.

“Haahh? Apaan?” Indah terpancing mendengar kata-kataku.

“Ini lho, kopi buatanmu, numero uno. Nggak ada tandingannya” Sambil nyeruput.

“Iihh, kirain apa… Mas tuh ya… Bisaaa aja bikin aku bahagia. Ini kopi kan yang bikin kamu jatuh cinta padaku ya, Mas” peluknya semakin erat. Pembicaraan pun berubah haluan.

“Ini kopi ada peletnya kalii ya? Hihi…” Kembali aku menggodanya.

“Apaan sihh… Yee… Aku nggak pake pelet aja kamu dah luluh, apalagi pake, hehe…”

“Iya, eh, Mas jadi inget saat pertama kita ketemu, Yank. Waktu itu Aku jatuh cinta pada kopimu, bukan pada orangnya yang bikin. Entah kenapa, lama-lama aku tergoda juga sama kamu, Yank”

“Ya tentu karena aku cantik donk… Iya kan?? Hehe…”

Ah, betapa bahagianya aku punya kamu, Yank. Hidupku indah, dan selalu ada Indah yang menemani langkahku. Kini kehadiran Indah junior semakin melengkapi indahnya hidupku. Lihatlah, senja mulai menghitam, langit tak lagi cerah, tapi hatiku masih cerah dan indah.

“Arman, sudah adzan… Kamu nggak ke masjid?” Teriak ibu, mendekatiku.

“Iya Bu, ini masih ngobrol sama Indah” sahutku.

Tiba-tiba ibu menangis,  duduk bersebelahan denganku.

“Nak, sudahlah… Lupakan Indah, sekarang kamu tak perlu meratapinya, kasihan Julie, anakmu. Dia juga butuh perhatian” sambil mengusap air bening yang berjatuhan.

“Ibu, Indah belum meninggal, dia masih ada di sini. Percayalah, dia selalu datang… Benar kan, Yank?”

Kenapa semua orang tak percaya kalau kau belum meninggal. Bahkan ibuku sendiri mungkin menganggapku gila. Tapi tak mengapa, bagiku kau selalu hidup, selalu tersenyum, selalu memotivasiku untuk selalu bahagia.

“Aku selalu bersamamu, Mas”

Iya, aku tau, kamu selalu hidup bersamaku, saat aku kangen, secangkir kopi dan bayanganmu selalu datang sebagai pelipur lara.

—-

Footnote:

Numero Uno: Nomor satu
Seruput = nyeruput = minum

84 responses to “Secangkir Kopi dan Bayanganmu

  1. ya ya ya aku tahu kopi adalah karakter Ari Tunsa! Kenapa waktu karsini aku lupa ya?
    Enjoy your morning coffeee. Mine’s today is from Aroma Bandung.

  2. Saleum,
    Kiraen manisnya sampai ke tetes terakhir lho 🙂 ternyata oh ternyata, madu diawal, empedu dibelakang 😥
    aku angkat Cangkir Kupi deh buat ceritanya kang…

  3. waahh.. pinter juga nih si Ari bikin FF.. hiks aku gak bisa ikutan deh kayaknya udah telat..

    sukses ya 😀

    *kirim juga donk kopinya 😆

  4. baca awal-awal, ngakak habis…ini khayalan tingkat tinggi para jojoba yg pengin segera nikah
    pas mau ending….
    eh, keren, tiba-tiba cerita berubah halauan menjadi melo abis

    like this deh! 😀

Tinggalkan Balasan ke tunsa Batalkan balasan