Antara Kasih dan Benci

Beberapa hari ini saya melihat, mendengar, dan merasakan kegalauan yang teramat sangat. Bukan karena tak punya uang atau tak ada tukang masak tapi karena kelakuan orang lain (manusia, masih hidup tapi tak punya hati, atau jangan sampai salah arti). Antara kasih dan benci, bercampur menjadi satu. Bukan bubur, bukan pula es campur 😆

Pengemis. Ya, tentang ulah pengemis. Eh, bukan.. Bukan ulah pengemisnya, tapi ulah koordinator para pengemis. Ya, koordinator pengemis. Pengemis pun bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab. Mereka (Bosnya para pengemis) menjadikan “pengemis” untuk ladang penghasilan.

Pengemis Yang Dimanfaatkan

Beberapa waktu yang lalu, ada banyak testimoni dari sahabat tentang pengemis yang membawa hape (handphone). Keren ya.

“Mas, mas.. tau nggak, ternyata para pengemis di jalan TU itu hebat-hebat”

“Hebat gimana?” tanyaku heran.

“Mereka ternyata punya Bos. Aku lihat mereka kumpul di depan bank BII, lalu masuk mobil”

“Ooo..” masih heran.

“Tidak hanya itu, anak-anak yang mereka bawa itu adalah anak sewa dari Bos-nya. Kulihat mereka mengembalikan anak-anak yang di bawanya ke dalam mobil jenis minibus dan menyerahkan sejumlah uang “setoran” kepada seseorang yang ada di mobil tersebut.”

“Wahh..” kasihan sekaligus benci.

***

Dan setelah perbincangan tersebut selesai, banyak komentar yang berkenaan dengan tema sama. Saya tentu saja hanya mengangguk, mengiyakan percakapan antar mereka. Ya, setidaknya saya pernah melihat hal yang serupa ketika tinggal di Ibukota. Tak asing.

Hufft. Saya mencoba mengambil kesimpulan dari berbagai sudut pandang. Tapi saya tetap tidak bisa menerima jika melibatkan anak-anak kecil yang masih belum tau apa-apa untuk mengemis. Bukan anak kandung sendiri, tapi anak sewa. Penyewa dan yang menyewakan kok begitu tega.

Bagaimanapun keadaannya yang paling saya sesalkan adalah tindakan sang OTAK. Bisa-bisanya mereka memperkeruh suasana. Mempekerjakan para pengemis untuk mencari uang. Apa tidak ada cara lain untuk menghasilkan uang Bos? Tindakan seperti itu apakah patut?

Mungkin para pengemis itu memang tidak salah. Bisa jadi ada intimidasi terselubung dari sang big boss (koordinator) agar menuruti perintah bos. Saya tidak tau, saya hanya merasakan ketidakadilan yang dialami seorang anak kecil.

Antara Kasih dan Benci

Saya adalah penyuka anak-anak. Tak tega rasanya anak kecil dilibatkan dalam pekerjaan. Apapun bentuk pekerjaannya. Idealnya memang seorang anak adalah bermain. Begitulah dunia, tidak ada yang bisa menerka. Tentu saja saya menaruh rasa kasih pada sang buah hati tersebut. Disaat yang bersamaan, saya juga sangat benci dengan si Boss yang semena-mena terhadap anak kecil. Bagaimana mungkin mereka mempunyai pemikiran yang tega seperti itu.

Entah siapa yang salah. Para pengemis itu hanya menjalankan tugas untuk mencari sesuap nasi. Begitu juga para orangtua yang menyewakan anaknya, mungkin sedang membutuhkan uang untuk menyambung hidup. Sedangkan si bos? Dia hanya menikmati hasil uang setoran saja. Tapi mungkin ada motif lain?

Jangan Saling Menyalahkan

Bisa jadi kita yang salah. Kenapa tidak menyedekahkan sebagian rizki yang kita punya untuk mereka. Jika kita tak percaya kepada posko-posko penyalur sumbangan, kita masih bisa mengumpulkan mereka sendiri kan?

Mereka masih punya cita-cita, mereka masih ingin hidup normal seperti kita. Jika semua orang saling peduli maka insya Allah tidak akan muncul para peminta-minta. Saya punya angan mengumpulkan mereka dalam suatu tempat dan memberikan pelatihan kewirausahaan serta menanamkan nasihat spiritual. Asa yang tak mudah dan membutuhkan banyak biaya. Yah, saya hanya bisa berdoa saja saat ini. Jika tidak terrealisasi mudah-mudahan ada oranglain yang bisa merealisasikannya.

Undang-undang No 11 Tahun 2009

Masalah yang bersangkutan dengan kesejahteraan sebenarnya sudah diatur oleh pemerintah. Termasuk para pengemis. Kesejahteraan hanya menjadi bayangan semua bagi para pengemis itu. Namun, sekali lagi… Aturan pemerintah itu tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Kita, juga turut berperan. Jika ada yang berminat membaca undang-undang tersebut selengkapnya bisa klik di sini.

Para pengemis yang membawa bayi akan didenda 200 juta atau kurungan selama kurang lebih 10 tahun.

Para pelaku yang sengaja mengekploitasi bayi untuk diajak mengemis maka termasuk mengeksploitasi anak. Maka dari itu bila terbukti bersalah, mereka yang mengeksploitasi balita akan dijerat dengan undang-undang perlindungan anak No 23 Tahun 2002. Sumber.

Gambar dari detik.com

Bagaimana dengan pendapat saudara?

50 responses to “Antara Kasih dan Benci

  1. kadang” saya kasian ngeliat anak” ngemis dijalan ,
    anak” yang biasanya asik sekolah dan bermain, uda disibukkan mencari rezeki dengan cara mengemisss, “huhuhu 😥

  2. sampai hari ini saya tak pernah sanggup berbagi dengan mereka secara langsung
    entahlah apa yang ada di benak mereka setiap saya melambaikan tangan atau menggelengkan kepala
    tapi sejujurnya saya memang tidak ikhlas sih, jadi saya sudah siap jika mereka mencaci maki kepelitan saya.

    semoga saja para bos pengemis itu diterangkan hatinya agar tak lagi meneruskan profesinya itu deh

  3. miris sih ngeliat kondisi seperti itu.
    padahal mereka (para bos pengemis itu) enggak kerja, ujug2 terima setoran. *pengen ngegetok kepala nya*

    lingkaran setan yang super duper sulit untuk diperbaiki.

    Satu-satunya jalan yah dengan perbaikan mental.

    • haaha… kesian sampe mengemis cinta. nggak laku ya bang? oopss# :mrgreen: *ngumpet
      duta anak? aku aja blum punya anak 😛

  4. Sentuhan dalam sebuah goresan yang dapat menyentuh hati untuk berpikir melalui logika keimanan Kang.

    Sukses selalu
    Salam
    Ejawantah’s Blog

  5. tadi siang saya melihat seorang anak kecil dengan baju dekil mengetuk pintu kaca, seorang penjaga kios keluar lalu memberikan sesuatu pada si anak. Di muka kios, seorang ibu dengan pakaian dekil pula dan dengan membawa bungkusan plastik-entah isinya apa–menunggu anak kecil itu. selesai anak kecil itu di beri sesuatu, mereka, anak dan ibu bergandeng tangan menyusuri trotoar dan melanjutkan perjalanan ke kios-kios sebelah.

  6. iya aq juga selalu sedih dan kasihan ika melihat anak kecil apalagi yg masih balita hrs menjadi obyek dari para pengemis itu
    *selalu teringat dgn anak sendiri*

  7. Saya juga sering memiliki perasaan spt yg digambarkan ditulisan. Tapi intinya prihatin dengan keadaan seperti itu. Semoga kita tetap bisa mensyukuri nikmat-Nya dengan berbagi terhadap sesama, berbagi kpd yg membutuhkan.
    Salam!

  8. sama saja dengan di banjar mas. . .
    banyak orang yang meminta2 dengan berbagai cara, kalau idah lihat biasaya pada kumpul di dekat alun2. . .

    semoga pemerintah bisa menangani hal semacam itu ya mas, sehingga tidak menjadi kasih dan benci. 😉

    • wah.. di Banjar juga banyak? 😯 saya malah baru tau… 😀
      mudah-mudahan bisa menjadi kasih saja ya 😉

  9. kasihan anak kecilnya.. 😦

    kalau pengamen aku masih suka ngasih, kalau ibu2 yg bawa anak kecil males juga ngasihnya, emang itu dikoordinir sih..

    • ada dendanya lho mbak.. 😀
      tapi sebenernya kita masih bisa ngasih dengan cara yang berbeda, mungkin sambil dikasih motivasi sedikit demi sedikit… tentu saja hal itu sulit 😀

  10. Ya emang 90% pengemis itu punya pengepulnya yak.. biasanya mereka janjian dimana untuk bertemu pulang.. sayangnya si pengemis gak dapet uangnya.. cuma dikasih makan biasanya..

    Pernah terbersit ide dari yang aku baca bahwa kalau memberikan pengemis berupa barang aja.. Misalnya nasi atau makanan lainnya.. Ya, lama-lama pengepulnya juga males kan, jadi mereka dibubarkan.. Ya gak sesimpel itu seh, tapi bisa deh difikirkan bagaimana baiknya.. hmmm…

    • sungguh kalo pengemis itu baru saya tau ada pengepulnya. kalo pengamen yg anak-anak jalanan itu sudah tau dari dulu 😀
      kalo di desa saya biasanya begitu mbak, ngasih bahan makanan pokok, tapi kalo dikota rasanya jarang deh.
      mungkin bisa jadi solusinya 😀

  11. sy juga suka dilema sih kl ngomongin pengemis.. Di satu sisi kasian, tp di sisi lain juga kenapa hrs ngemis sih.. apalagi kl liat crt di blkgnya yg katanya ada pengepulnya lah.., dll. Malah sy perah liat sendiri ketika sedang bermacet2 di jalan, seorang pria ngemis dg pakaian compang-camping.. Trus dia ganti baju di balik pepohonan dg baju kemeja & cln bahan.. Entahlah apa maksudnya.. Gak ngerti sy..

    • bener. dilematis, kita tak bisa banyak berbuat.. saya pernah liat sendiri seorang ibu-ibu peminta di pinggir jalan malam harinya naik angkot bersama anaknya daan mampir ke mall besar di Jakarta Utara..

  12. kalau di tempat saya beda kasus mas, justru mereka lebih menyukai pekerjaan ngemis daripada pekerjaan yg lebih bermartabat lainnya
    apa pasal?
    karena ternyata setelah dikalkulasikan, pendapatan pengemis di Jogja melebihi UMR sehingga mereka beranggapan ngemis itu lebih berduit daripada pegawai biasa

    just share aja,
    semakin banyak jumlah pengemis di jalan2 protokol kota Jogja

  13. Aku paling sensi kalo ngelihat fenomena ini di perapatan lampu merah..
    Suka ga mau lihat, suka ga mau ngasih uang,..
    Benci sama mereka *orang tuanya *..

  14. Pemerintahnya aja ga amanah boz….ga menjalankan UUD 45 pasal 33 n 34 …yo luwih morak2 kehidupan nang endonesa….po maneh menjalankan aturan “gusti ingkang murbeng dumadi”…

  15. peraturan tinggal peraturan … tidak ada yang benat benar menerapkannya yaa…

    aku juga benci banget tuh sama pengemis
    makanya aku jarang banget kasih uang ke pengemis di jalan
    gak jelas sih kemana uangnya… gak jelas manfaatnya.
    jadi dari pada ragu ragu, ya akhirnya tidak ngasih sama sekali

  16. sebenarnya sifat mengemis itu tdk hanya ada pada pengemis tp sudah hampir menyeluruh. Hanya saja motifnya berbeda2. Mrk bermodal anak kecil krn hanya itu kemampuan mereka. Kami pernah didatangi oleh org yg berbaju dinas, brbaju ala kiyae, padahal tujuannya sama untuk diri sendiri. Bahkan kemarin ana dmintai oleh org yg bekerja dipengadilan negeri, padahal mereka bekerja kn sdh digaji pemerintah.

  17. memang sih serba salah juga kalo keadaannya udah begitu. emang sih Rasulullah pernah mengatakan bahwa tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah. memberi lebih baik daripada menerima. kita juga harus saling membantu, apalagi sama fakir miskin. dalam harta kita ada hak mereka.

    tapi kalo ngemis udah dijadiin profesi saya juga kurang setuju.
    malah di deket kampus saya banyak banget pengemis yang bahkan kalo diliat fisiknya masih mampu buat bekerja.
    bukannya mereka gak mampu, gak bisa bekerja, tapi singkat kata, mereka malas untuk bekerja. jadi minta minta dijadikan sebagai profesi.
    pun emang tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah, tapi meminta minta merupakan hal yang juga kalo bisa dihindari. meminta minta dijadikan altrenatif terakhir kalo emang gak punya jalan keluar lain.
    atau mungkin memang mental orang indonesia adalah mental lebih baik diberi daripada memberi.

    well, gimana menyikapinya? kalo saya pribadi sih, kalau memang ikhlas untuk memberi, dengan motivasi memang ingin bersedekah dan membantu, ya beri aja. tapi kalo memang gak ikhlas dan merasa begini dan begitu mending gak usah dikasih.
    toh emang bener perda itu. lebih baik kalo mau bersedekah atau berzakat mending ke lembaga lembaga resmi aja. udah jelas terpercaya dan jelas. lagian lebih tertib 🙂

Komen